Menyelami Fantasi Shoegaze Greenfeel

 Artikel Rizza Hujan |

Hujanmusik.id, BOGOR - Di satu siang yang beringsang seorang kolega mengirimi tautan berisi musik milik band bernama Greenfeel. Saya diperintah untuk mendengarkan dan tentu saja harus dilakukan karena yang meminta adalah salah satu dedengkot musik Bogor yang juga dikenal baik di skena musik Jakarta. 

Begitu saya simak salah satu lagu Greenfeel yang berjudul "Kotak Hitam", timbul pertanyaan, apakah ini yang namanya shoegaze. Dan Firman Aris, orang yang mengirim tautan mengiyakan. Saya pun bingung harus berkomentar apa karena jangankan shoegaze, pop saja saya tidak terlalu mengerti. Saya cuma tahu My Bloody Valentine, The Jesus and Mary Chain, dan pernah diedukasi secara singkat tentang Slowdive oleh Aris. Meski tidak terlalu mengerti apa yang hendak mereka sampaikan, namun yang pasti, shoegaze ramuan Greenfeel memancarkan aura gelap cenderung menyakitkan. Mungkin memang begitu pondasi dari aliran musik satu ini. 

Greenfeel, unit shogaze lintas kota Bogor - Tangerang SelatanDOK. GREENFEEL

Selain "Kotak Hitam", saya juga diarahkan untuk mendengarkan karya Greenfeel yang lain, judulnya "Mereka". Lagi-lagi kegelapan itu menekan. Benang merah dari kedua lagu ini adalah sound gitar dan yang mengawang mendominasi hampir di seluruh bagian lagu. Permainan bass pelan, tenang, menghanyutkan bisa membawa imaji pendengarnya berkelana ke alam lain. Ketukan drum yang tidak terburu-buru, seperti menghayati sepenuh hati sukses menyelimuti vokal angelic yang meracaukan lirik yang sengaja dirangkai dengan kata-kata bermakna luas supaya menghasilkan beragam interpretasi. Di pertengahan jelang akhir lagu, tempo tiba-tiba meningkat, distorsi pun mengaum menyempurnakan klimaks. 

Khusus "Kotak Hitam", Greenfeel pernah merilis video klip yang dibuat oleh Gilang Gie, seorang pegiat seni dan komunitas kota Bogor. Seperti komposisi musiknya, video klip-nya pun mengedepankan aura gelap, pahit, namun estetik. Cari saja di youtube dan temukan kepahitan itu.

Terbentuk pada tahun 2017 akhir, melalui pertemanan lintas kota, Greenfeel merupakan unit Shoegaze/Post-Rock yang personilnya berdomisili di Bogor – Tangerang Selatan. Beberapa personil namanya sudah tidak asing lagi di perkancahan musik indie seperti Indra dan Billy Irian yang merupakan bassis dan drummer dari My Secret Identity dan Elora, Firman Aris Kuncoro gitaris Adopta, dan Harry Zulhazs gitaris See the Eye. Formasi ini dilengkapi oleh kehadiran Yudhitaprawesti Shahranuwiragusti yang didapuk sebagai vokalis.

Dari masing-masing taste musik para personil, mereka mencoba menghadirkan musik yang dapat mempermainkan perasaan para pendengarnya seperti salah satu wahana di dunia fantasi. Dan rasanya itu berhasil.

Ketika saya bilang musik Greenfeel  menawarkan rasa gelap dan menyakitkan bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena memang begitu adanya. Lagu-lagu Greenfeel seperti punya sisi tajam yang menghujam perasaan paling dalam. Sakitnya terasa nyata. Padahal di beberapa bagian lagu saya tidak begitu mengerti tentang apa lirik bikinan Yudith ini bicara.  Pengalaman seperti ini yang selalu jadi pemantik untuk menggali lebih dalam.

Sebagai awam, saya cukup bisa menikmati suguhan Greenfeel dan menghormati pilihan musik mereka yang belum begitu populer di Indonesia. Dari dulu shoegaze memang begitu posisinya, melambung tidak, tenggelampun tidak. Tapi selalu ada di tiap era.

Kabar dari dunia fantasi menyebut bahwa sejak merilis single perdana yang berjudul “The Trails of Little Creature” empat tahun lalu, Greenfeel tengah bersiap menggarap mini album. Jika menilik amunisi yang mereka siapkan, idealnya album tersebut akan menjadi sesuatu yang berbahaya serta menarik minat para penikmat musik kekinian yang katanya berpikiran terbuka.

Previous Post Next Post