Cetak Biru Miniatur Utopia dan Efek Kupu-Kupu Kemah Seni Festival 2023

Artikel Rizza Hujan |

Hujanmusik.id, BOGOR - Banyak kekacauan atau chaos terjadi di dunia yang kerap menjerumuskan manusia ke dalam jurang pesimisme terjal nan dalam. Banyak harapan tentang society yang menguap atau pudar begitu saja ketika dibenturkan dengan ketidakaturan yang menjegal. Segalanya terlihat jauh dari ideal. Tapi chaos juga bisa menyebabkan butterfly effect atau efek kupu-kupu di mana perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu sistem taklinear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Dan chaos itu baru terjadi dalam keriuhan bernama Kemah Seni Festival 2023.

Cilebut Art Project (CAP) sebagai entitas yang bertanggung jawab atas terjadinya chaos kemah seni mengkoordinir segalanya dengan rapi di bawah naungan langit mendung Bumi Perkemahan Sukamantri pada 11-12 November lalu. Mereka seperti tidak mengenal rasa takut mengumpulkan para pelaku seni saat musim hujan menyapa. Semua demi memenuhi rasa haus, memanifestasikan mimpi, serta memberi ruang pada mereka yang membutuhkan sorotan lampu untuk karyanya. Tidak kurang dari 14 penampil yang terdiri dari musisi, seniman teater, pendongeng, hingga pantomim bergantian mengisi panggung sederhana namun elegan itu. Ada juga komunitas yang concern pada kertas ikut meramaikan. Sungguh sebuah perayaan yang menggelitik ego.


Kemah Seni Festival 2023 dengan ragam performance art menarik di Bumi Perkemahan Sukamantri, Bogor. DOK. CAP

Meski hujan deras menerpa di sabtu sore dan memaksa rundown untuk mundur namun sekali lagi panitia sudah menyiapkan diri guna menghadapi situasi seperti itu. Tenda memang rembes, badan terdera dingin, panitia sibuk memeriksa dan bertanya pada peserta soal kenyamanan mereka. Kegiatan pun tetap berlanjut. Chaos tapi tetap tertib. CAP seolah berniat menunjukan pada dunia bahwa walau kekacauan di depan mata tapi utopia itu bisa diciptakan.

Bicara soal penampilan para pengisi acara, harus diakui mereka semua sudah terbiasa berdiri di atas panggung di hadapan ratusan pasang mata. Tidak terasa sama sekali kecanggungan. Jujur saja nama-nama seperti Jono Terbakar, Rizal Putra, Teater Ras, Criatura x Jempling Mime, Narakata, Sadulur Sadayana, Rungkad, Kulaa, dan lainnya asing di telinga saya yang awam. Tapi hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menikmati suasana. Yang saya tahu cuma Dipantaraloka karena kenal dengan personilnya, Akbar Savio, serta Bonchie yang buat saya sukses menjadi bintang. Alasannya sederhana, Bonchie sang pendongeng yang berkolaborasi dengan Teater Ras berbeda dari yang lain. Selain itu mereka bisa menyampaikan cerita dengan baik. Dan keberanian berimprovisasi di lokasi dengan mengajak anak kecil berpartisipasi secara dadakan jadi nilai lebih.

Satu lagi bagian acara yang sungguh menghibur adalah MC (master of ceremony), duet Bang Zhai dan Amir begitu aktif seolah takpernah kehabisan energi. Spontanitas, celetukan, mengisi jeda, dan cara mereka berinteraksi dengan penonton layak diapresiasi tinggi. Seandainya ada satu nama besar yang dikenal lebih luas dibawa mungkin akan menjadikan acara lebih semarak.

Sisi lain yang saya perhatikan adalah soal pendukung acara. Tidak ada logo instansi pemerintah disana atau perusahaan biasa mengeluarkan kocek besar demi menancapkan image-nya. Padahal ini pergerakan positif yang menyentuh dunia seni dan wisata. Entah luput dari perhatian atau memang tidak peduli.

Buat saya, KSF dengan keluwesan dan kehangatannya berhasil menciptakan cetak biru sistem komune yang selama ini hanya berada di angan-angan. KSF juga membawa imaji pada pagelaran seni di alam terbuka yang belakangan jarang terdengar di Bogor. Memang ada Sunset di Kebun tapi itu masih di tengah kota, tidak seperti KSF yang melipir ke kaki gunung yang jauh dari keramaian kota. Semoga saja efek kupu-kupu itu terjadi, memantik pergerakan-pergerakan lain bernada sama dengan Kemah Seni Festival 2023.

Previous Post Next Post