Artikel Anggitane |
Hujanmusik.id – Beberapa pekan terakhir Kota Solo cukup sukses menjadi fokus amatan yang menolehkan pandangan dari ruang diskursus publik terkini dan menjadi momentum bersejarah yang dinanti-nanti. Bukan tentang situasi politik, pergunjingan elit ataupun pendulum harta pengelola ‘perpajakan’ yang mengayun kesana-kemari.
Sejak meluncurnya kabar kepastian ‘reuni’ Deep Purple dan God Bless dari founder Rajawali Indonesia, Anas Syahrul Alimi, pada 13 Januari 2023 lalu. Momentum 10 Maret 2023 menjadi noktah penting untuk mencatatkan diri sebagai satu diantara 10.000 penyaksi yang akan memenuhi Edutorium UMS.
Apalagi pertemuan Deep Purple dan God Bless terjadi kembali setelah pertemuan terakhir mereka terjadi pada 48 tahun yang lalu. Khusus untuk God Bless konser ini menjadi kado penting bagi band rock senior yang memasuki usia berkarirnya ke-50 tahun.
Deep Purple dan God Bless pertama kali tampil satu panggung pada 4 dan 5 Desember 1975 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Konser tersebut menjadi peristiwa penting yang membawa revolusi dalam panggung pertunjukan musik di Indonesia.
Seturut dengan catatan Deep Purple dalam The Guinness Book of World Records sebagai band paling bising di dunia setelah mengguncang The London Rainbow Theatre, pada 1972.
Indonesia, khususnya kota Solo dipilih Rajawali Indonesia sebagai salah satu titik Deep Purple World Tour 2023. Setelah Solo mereka akan melanjutkan perjalanan ke Tokyo (Budokan, 13 Maret), Hiroshima (Ueno Gakuen HBG Hall, 17 Maret), Fukuoka (Sun Palace Hall, 19 Maret) dan Osaka (Intec Arena, 21 Maret).
Deep Purple Mark IX: Roger Glover, Ian Paice, Ian Gillan, Don Airey, dan Simon McBride. ANGGITANE/HUJANMUSIK.ID
Bagi saya, menyaksikan perhelatan Deep Purple tak ubahnya memutar waktu beberapa dekade kebelakang, menyisip dan berusaha mengintip masa muda Kakek-Nenek, Ayah, juga Paman dan Tante pada masanya. Apalagi saat Deep Purple konser di Jakarta saya tak yakin sudah ada dalam bayangan untuk dilahirkan.
Mengenal mereka dari himpitan poster yang memenuhi dinding kamar Paman yang bertumpu dengan gambar-gambar punggawa rock lainnya semacam Jimmy Hendrik, deretan personil Queen, Led Zeppelin, Black Sabbath dan tentu saja, God Bless.
Mengenal lagu mereka bukan dari pemutar lagu layaknya pemuja streaming saat ini, melainkan melihat langsung latihan band Bapak-Bapak di kampung membawakan ‘Blind Man’ dan ‘Smoke On The Water’, dalam rangka pentas 17an.
Kini, dengan segala kemewahan waktu dan kesehatan yang diberikan, perjalanan menuju Solo menjadi cara mensyukuri perjumpaan dengan band rock besar nan berpengaruh. Nama Deep Purple selalu tersemat sebagai inspirasi yang mempengaruhi banyak besar lain di dunia, apalagi di Indonesia.
Kemewahan menyaksikan langsung Ian Gillan (vocals), Don Airey (keyboards), Roger Glover (bass) dan Ian Paice (drums) di panggung, yang belum tentu disaksikan generasi sebelum saya. Triumviraat personel MK II ini kemudian membawa gitaris baru, Simon McBride, sebagai pengganti Steve Morse yang resmi mengundurkan diri karena ingin memfokuskan perhatian pada istrinya yang terpapar kanker.
***
Siang itu, Jumat 10 Maret 2023, kawasan Karangasem, Kecamatan Laweyan Solo tengah menjadi pusat kumpul massa. Lokasi dimana Edutorium KH. Ahmad Dahlan UMS didominasi calon penonton konser yang hari itu banyak ditampilkan profil penggemar rock senior, meski mereka yang usia muda tak kalah banyaknya. Bedanya, massa kali ini cukup tertib dan cenderung tak tergesa-gesa sejak gerbang utama hingga titik penukaran tiket.
Layaknya lokasi pertunjukan rock pada umumnya, dominasi pedagang t-shirt warna hitam berikut aksesoris pendukungnya bertebaran hingga pintu masuk utama. Tentu saja tema Deep Purple dan God Bless menjadi yang utama dijajakan mereka.
Kumpulan massa semakin padat menjelang petang. Sejak pintu dibuka pukul 16.00 WIB, mereka yang memasuki venue terus mengalir secara perlahan. Tak ada penumpukan berlebihan, kecuali saat pemeriksaan barang bawaan. Yang tidak diperkenankan dibawa masuk bisa dititipkan di lokasi penitipan yang sudah ditentukan.
Selebihnya penonton terasa sangat dewasa dan cukup mudah diarahkan.
Saya sendiri memilih antri masuk selepas pukul 19.00 WIB, bersamaan dengan serombongan ‘pasukan’ seragam hitam yang dari kejauhan saya lihat sibuk membalur tangan dan leher dengan minyak angin.
“Ya begini mas kalo mbah-mbah nonton konser, persiapannya banyak, biar ndak masuk angin dan ndak merepotkan panitia,hahahaha” cetus salah satu rombongan bernama Arjo.
Saya lupa persis berapa usianya, namun yang jelas mereka berangkat dari Wonosobo. Sudah niat untuk datang ke konsernya Deep Purple. Sekaligus misi ‘balas dendam’ karena tak bisa menyaksikan God Bless saat tampil di Jogjarockarta, tahun 2022 lalu.
Memasuki pukul 19.17, tirai panggung mulai terbuka sedikit, sorot lampu menampilkan sosok Joko Murtanto, sahabat difabel yang memandu massa untuk bersuara, bersama-sama mengumandangkan ‘Indonesia Raya”.
Profil Mas Joko tercatat merupakan sosok yang aktif menolak keterbatasan untuk berkarya. Ia pernah menjadi penyiar radio komunitas di Solo, pelukis yang melukis dengan software MS Word, hingga pendiri PAUD/TK untuk warga desa di pinggiran Waduk Kedungombo (Gunungsono, Kec. Miri, Kab. Sragen). Instagram Rajawali Indonesia juga mengabarkan bahwa Mas Joko pernah memimpin 12 ilustrator untuk program buku ajar Depdikbud, dan berhasil membuat 6 ribu karya ilustrasi. Dari 6 ribu ilutrasi, 4 ribu diantaranya adalah karya dari mas Joko Murtanto.
Sebagaimana yang dijanjikan Anas Alimi selaku Founder Promotor Rajawali Indonesia saat jumpa pers Kamis (9/3), Anas menyebutkan selain penampilan dari God Bless yang mengawali konser Deep Purple, akan ada juga kejutan lain untuk seluruh penonton yang hadir di Edutorium UMS Jumat malam. Kejutan itu bernama Rhoma Irama bersama Soneta.
Rhoma Irama tampil secara formasi penuh bersama Soneta. Membuka konser malam itu dengan penuh semangat, melantunkan beberapa lagu yang dibuka oleh medley arrangement ‘Smoke on the water’, lantas mendendangkan Nafsu Serakah, Seni, Badai Fitnah dan Ditutup dengan Hari Berbangkit.
Ide menghadirkan Soneta diantara pertemuan bersejarah antara God Bless dan Deep Purple sejak 48 tahun lalu, merupakan gagasan pihak promotor untuk memberikan sejarah baru.
Rhoma Irama dan Soneta, pertemuan budaya yang sarat historia rock dan dangdut di dalamnya. ANGGITANE/HUJANMUSIK.ID
Mengulang pertemuan Deep Purple dengan God Bless pun mempertemukan keduanya dengan Rhoma Irama, merupakan keputusan jenius dan serius. Saya tak bisa menyembunyikan kekaguman, sekaligus bertanya-tanya, bagaimana Rajawali Indonesia melakukannya.
“Orang Indo (Indonesia) berpikir Deep Purple nya indonesia itu Rhoma Irama. Seperti ada suatu kaitan. Kalo Rhoma dihadirkan akan sangat kena secara historis. Sejumlah lagu Bang Haji juga terinspirasi dari Deep Purple,” tutur Anas Syahrul Alimi, saat ditemui seusai konser.
Selepas Bang Haji tampil memukau dan mengejutkan, gelombang rock mulai terasa saat God Bless mengawali kemunculan sejak hentakan drum Fajar Satritama yang disambut sautan gitar Ian Antono, ditemani cabikan bass Arya, juga sound keyboard Abadi Soesman, dan tentu saja, suara Ahmad Albar melalui sejumlah repertoar yang dibawakan.
God Bless membuka konser dengan “Huma DI Atas Bukit” pada bagian intro. Lantas meneruskan “Musisi” yang diambil dari album ‘Cermin’ (1980). Sejurus kemudian mengalir sejumlah repertoar seperti “Bla bla bla” dan “Kehidupan”.
Usai “Bla Bla Bla” dan “Kehidupan” bergemuruh di Edutorium UMS, sedikit sapaan Ahmad Albar menyisip sebelum akhirnya meluncur “Cermin” yang sarat sequencer gamelan pada bagian awal. Hingga kemudian “Bara Timur”, “Anak Adam” yang diambil bagian intronya yang bersambung dengan “Bis Kota”.
Suasana sedikit santai saat “Panggung Sandiwara” dan “Rumah Kita” dibawakan. Nuansa balada sedikit meredakan suasana sebelum kembali memberi tekanan rock secara penuh dengan “Semut Hitam” dan “Trauma” sebagai penutupnya.
God Bless memainkan total sebelas lagu.
Tampil saat usia band 50 tahun memang terasa istimewa untuk God Bless. Selain reuni satu panggung bersama Deep Purple, penampilan mereka juga disaksikan secara penuh oleh orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo. Termasuk diantara yang hadir ada Walikota Solo, Gibran Rakabuming, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan mantan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno, serta beberapa pejabat lainnya.
Saya tak paham energi dari mana, sebagian besar massa penonton terus-terusan bernyanyi bersama Ahmad Albar sejak awal tampil hingga God Bless menutup penampilannya.
Untuk beberapa saat kemudian panggung gelap dan crew panggung terlihat sibuk melakukan set up untuk Deep Purple. Dalam keremangan saya bisa menangkap dengan jelas set keyboard Don Airey yang menjulang bersama drum Ian Paice.
Waktu menunjuk pukul 22.11 saat Ian Paice memainkan solo drum intro ‘Highway Star’ besama gitaris Simon McBride. Lagu yang masuk dalam album “Machine Head’ (1972) itu cukup mudah dikenali karena popularitasnya, tak heran saat Ian Gillan melantunkan “Nobody gonna take my car I’m gonna race it to the ground” nyaris tertutup suara penontong yang bernyanyi bersamaan.
Lagu kedua, “Pictures Of Home”, menampakkan nuansa nostalgia dan disambut gemuruh sekitar 7000-an penonton. Menjelang dua lagu berikutnya, “No Need To Shout” dan “Nothing at All”, tensi panas tak bisa dihindari, mulai meredup. Terlihat bahwa materi dari album Whoosh! Ini kurang familiar. Harus diakui sejak mencetak hit “Anya” dari album The Battles Rages On … (1993) Deep Purple mulai kehabisan napas untuk menciptakan hit baru. Ciri khas dari kelompok musik yang telah melewati golden era.
Deep Purple malam itu membawakan sejumlah total 14 lagu yang dimulai dari “Highway Star”, “Pictures Of Home”, “No Need To Shout”, “Nothing At All”, “Uncommon Man”, “Lazy”, “Blind Man”, “Anya”, “Keys”, “Perfect”, “Space”, “Smoke On The Water”, “Hush”, dan ditutup dengan “Black Night”.
Deep Purple menampilkan formasinya yang ke sembilan, atau biasa disebut DP Mark IX, yaitu Ian Gillan (vokal), Simon McBride (gitar), Roger Glover (bass), Don Airey (kibor) dan Ian Paice (drum). Nama terakhir ini satu-satunya personel yang datang ke Jakarta pada 1975 sekaligus personel original sejak super grup itu terbentuk di Inggris, 1968.
Setelah itu, menurut catatan Kamarmusik.id Deep Purple datang kembali ke Jakarta pada 30 April 2002 (Plenary Hall JCC, Jakarta) dan 12 April 2004 (Tennis Indoor, Jakarta). Lalu 14 April 2004 di Lotus Pond, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali.
Sebagai personel termuda, gitaris Simon McBride membuktikan bahwa kapasitasnya layak menggantikan gitaris Deep Purple sebelumnya, Steve Morse. Meski tak terlalu mengumbar distorsi, permainannya akurat. Sound gitarnya pun terdengar jauh lebih modern dibanding Ritchie Blackmore dan Morse. Permainan McBride yang setia pada orisinalitas bentuk lagu-lagu yang dibawakannya, membuat penggemar Deep Purple generasi 1970-an tak merasa kehilangan saat menikmati karya masterpiece seperti “Highway Star”, “Smoke on the Water” atau “Black Night”.
“Saya tidak mungkin mengubahnya begitu saja dengan versi saya,” kata instruktur gitar tersebut menjawab pertanyaan wartawan dalam jumpa pers. Bagi Ian Paice makna jawaban McBride itu adalah tentang rasa hormat. Seperti dicatat penulis senior, Denny MR di Kamarmusik.
Setiap lagu dimainkannya dengan gaya linear, jernih, tidak ada satu not pun yang meleset. Pengecualian terjadi pada “When a Blind Man Cries” yang berubah total. McBride seperti diberi ruang untuk menampilkan kapasitasnya sebagai aranjer.
Bagi yang terjebak nostalgia, akan sulit menyimak aransemen baru ini. Namun versi McBride harus diakui berhasil membalut melodi ’70-an dengan konsep kekinian.
Sungguh, ini konser Deep Purple di Indonesia yang membekas.
Penggalan “When A Blind Man Cries” menjadi lagu yang sangat akrab ditelinga saya.
Ingatan berkalana saat menjelang akhir sekolah dasar, perjalanan darmawisata dengan bus Jogja – Ambarawa yang diwarnai backsound musik lokal. Mendadak sang sopir memutar koleksi lagu pilihannya, meluncurlah lagu koleksi rock klasik, salah satunya “When A Blind Man Cries” sepanjang perjalanan.
Tampil nyaris dua jam tanpa jeda bukan persoalan mudah bagi Deep Purple. Terlihat bahwa energi harus dihemat, tanpa mengorbankan ritual panggung. Ian Paice tidak bersolo drum. Bersama Ian Gillan dia memilih menarik napas saat Don Airey menyajikan intro panjang untuk “Lazy”.
Tak sulit bagi pemilik nama Donald Smith Airey ini mengalihkan perhatian penonton. Menenggak wine di tengah atraksi solo, mengenakan kopiah milik Anas Syahrul Alimi (CEO Rajawali Indonesia), dan membuat rally panjang nan memikat berupa potongan ”Turkish March” karya komponis Mozart yang dirajutnya dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Persis sebagaimana yang dilakukan Deep Purple ketika tampil di Stadion Gelora Bung Karno (1975), saat itu Jon Lord mengimprovisasi “Lazy” dengan “Burung Kakak Tua”.
Don Airey bukan orang baru bagi Ian Paice. Keduanya pernah satu formasi di Whitesnake. Seorang musikus produktif dengan karir merentang pada sejumlah band, baik sebagai personel mau pun pengiring. Antara lain Jethro Tull, Black Sabbath, Judas Priest, Rainbow, Gary Moore, Colloseum II, Hollywood Monsters dan Michael Schenker Group.
Seusai menutup penampilan, beberapa personil Deep Purple terlihat mendatangi Presiden Joko Widodo. Mereka menuju area dimana Presiden setia menonton selama 3,5 jam hingga pungkasan.
“Semua penampilan Bang Haji Rhoma, Soneta, God Bless dan Deep Purple sempurna dan saya harap semua yang hadir juga merasakan hal yang sama dan bisa menjadi saksi sejarah pertujukan konser musik rock di Indonesia dari Solo, Jawa Tengah ini. Sampai Jumpa di acara konser musik kami selanjutnya. Terimakasih,” ucap Anas setelah konser berakhir.
Diluar hingar bingar pertunjukan, terkuaklah kabar dibalik layar. Bahwa semula konsep pertemuan Deep Purple dengan God Bless dimaksudkan sebagai kado ulang 50 tahun God Bless. CEO Rajawali lantas mengkomunikasikannya dengan pihak Deep Purple. Bahkan sebelumnya mereka setuju untuk tampil sebelum God Bless.
Setelah berkordinasi secara intensif dengan pihak God Bless, termasuk mengutarakan langsung dalam pertemuan dengan Achmad Albar dan Ian Antono ketika God Bless ambil bagian dalam perhelatan JogjaRockarta Festival, 24 & 25 September 2012. God Bless berterima kasih dan merasa terhormat atas kesediaan Deep Purple namun tetap memilih tampil duluan seperti pada pertemuan di Gelora Bung Karno.
Pun hal-nya kisah Rhoma Irama tampil sebagai pembuka.
Semula Rhoma Irama diminta menyanyikan “Indonesia Raya” seperti yang dilakukan Dewa Budjana saat pembukaan konser Dream Theater. Namun dalam perkembangannya menjadi dua lagu, dan akhirnya menjadi empat lagu.
Pada akhirnya kemunculan Rhoma Irama menjadi alasan untuk menekankan pertunjukan malam itu sabagai peristiwa penting dalam sejarah panggung musik Indonesia.
Seperti diketahui, pada pertengahan 1970-an musik rock dan dangdut pernah dibenturkan oleh pemberitaan sebuah media cetak hingga terjadi permusuhan antar kedua massa musik tersebut.
Konflik dianggap selesai dengan penampilan satu panggung antara God Bless dan Rhoma Irama pada 1977. Pertemuan kedua dedengkot ini kemudian berulang kembali pada 1985 dan 2021. Dalam konteks pertautan rock dengan dangdut, Rhoma sendiri secara terbuka mengakui bahwa konsep musik Soneta Grup banyak terinspirasi oleh Deep Purple. Pengaruh tersebut menyebar di sejumlah lagu, termasuk pada empat judul yang dimainkannya malam itu: “Nafsu Serakah”, “Seni”,
Menyoal viral video seorang yang diduga kru Deep Purple mendatanginya ketika Rhoma Irama memainkan intro “Smoke on the Water”, saya memilih sepakat dengan cara pandang, bahwa itu bisa mengundang multi tafsir.
Pro kontra itu wajar. Namun, didatangi atau tidak, Rhoma Irama memang harus segera berpindah dari intro lagu itu pada “Nafsu Serakah” karena konsepnya semata gimmick. Di Indonesia, level popularitas “Smoke in the Water” (Deep Purple Mark II) hanya bisa ditandingi oleh “Soldier of Fortune” (Deep Purple Mark III).
Pada akhirnya Rajawali Indonesia memang berhasil memuaskan dahaga konser artis legendaris, untuk kali kedua membuat sejarah kembali terukir di Kota Solo. Setelah sebelumnya Dream Theater dan kini Deep Purple.